iklan

iklan banner iklan banner iklan banner iklan banner

Minggu, 15 Maret 2015

KHILAFIYAH DAN BID'AH


YANG KHILAFIYAH DAN YANG BID’AH
Oleh : Syarif Rahmat RA
dosen PTIQ Jakarta dan Pengasuh Pondok Pesantren Ummul Qura Pondok cabe


Khilafiyah artinya perkara-perkara yang diperselisihkan. Dalam pembicaraan Fiqh yang disebuh khilafiyah adalah segala sesuatu yang diperselisihkan kedudukan hukumnya oleh para ulama Mujtahid. Adapun bid’ah adalah segala amaliah yang tidak terdapat dasarnya dalam Al Qur’an, Hadit atau Ijtihad Ulama Mujtahid.




Terhadap masalah-masalah khilafiyah yang wajib bagi orang awam adalah taqlid kepada salah satunya disertai sikap toleran terhadap yang berbeda darinya. Sedangkan dalam masalah bid’ah maka tidak ada pilihan lain kecuali bersatu dalam menghentikannya.

Dalam suatu masalah terkadang kita menemukan khilafiyah namun ada pula yang terjatuh dalam bid’ah tanpa disadari. Hal ini biasaya karena orang tidak bisa membedakan mana Ulama Mujtahid yang layak dijadikan pegangan dan mana ulama atau guru ngaji yang tidak boleh dijadikan rujukan. Sekali lagi, yang wajib dalam hal ini adalah mengikuti ulama Mujtahid dan tidak merujuk kepada fatwa sembarangan.

Sebagai misal dalam masalah mengangkat tangan ketika Takbiratul Ihram. Para ulama berbeda pendapat sebatas mana kedua tangan diangkat. Mayoritas ulama menetapkan bahwa mengangkat kedua tangan itu adalah sebatas daun telinga. Mereka menggabungkan pesan yang terdapat dalam dua hadist. Sebagian lain menetapkan bahwa mengangkat tangan itu sebatas pundak. Kelompok ini mentarjihkan salah satu di antara keduanya. Dua pendapat ini termasuk dalam perkara khilafiyah. Tetapi ada juga kelompok ketiga yang ketika mengangkat tangan setinggi dada dengan cara menelungkup pula. Mengangkat tangan model ini – sepengetahuan kami – tidak ada dasarnya dalam hadist. Jadi, jika digunakan kalimat yang ekstrim, bisa dikatakan bid’ah.

Demikian juga para ulama berbeda pendapat tentang tata cara meletakan tangan saat berdiri dalam shalat. Sebagian besar ulama menetapkan bahwa yang benar dalam meletakan tangan adalah dengan cara menumpangkan tangan kanan diatas tangan kiri dengan meletakannya dibawah dada diatas pusar. Pendapat ini adalah hasil dari penggabungan dua hadist dalam masalah ini. Sebagian lain menetapkan bahwa cara yang benar adalah dengan cara menumpangkan tangan kanan diatas tangan kiri dengan meletakkan di dada. Mereka berargumen dengan teks sebuah hadist dengan tidak menghubungkannya dengan hadist lain. Ada pula pendapat lain yang mempersilahkan memilih antara di dada atau dibawah dada. Ketika pendapat ini dianggap khilafiyah karena seperti itu yang difatwakan para Mujtahid kecuali Abu Hanifah yang memilih melepaskan tangan tidak bersedekap. Tetapi belakangan ada sekelompok orang yang ketika bersedekap meletakan tangan di dada dengan cara kedua sikunya menggelantung ke bawah. Ada juga yang menumpuk dua telapak tangannya di dada seperti gerakan orang yang sedang bersedih hati. Kedua model bentuk ini – sepengetahuan kami – tidak pernah ada dalam fatwa ulama baik salaf maupun khalaf. Maka jika hendak disikapi dengan ekstrim, dapat dikatakan praktek sedekap seperti itu adalah bid’ah.

Para ulama berbeda pendapat tentang tata cara turun ketika hendak sujud. Mayoritas mereka meletakan dua lutut sebelum dua telapak tangannya. Sebagian lain menetapkan bahwa turun yang benar adalah dengan cara meletakan kedua tangan sebelum kedua lututnya. Ini adalah khilafiyah yang terdapat penjelasannya dalam kitab-kitab Mujtahid. Tetapi belakangan kita menyaksikan ada sejumlah orang yang ketika turun hendak sujud mendahulukan kedua tangan lalu setelah lututnya turun, kedua tangannya melompat kedepan sehingga dalam sujud pertama itu mereka memindahkan tangan dari tempat jatuhnya. Praktek model ini sepertinya dalam rangka memanjangkan posisi sujudnya. Tata cara seperti ini – sepengetahuan kami – tidak ada dalam fatwa seorang ulama pun baik salaf maupun khalaf. Maka jika hendak disikapi dengan esktrim dapat dikatakan praktek turun menuju sujud model ini adalah bid’ah.

Para ulama berbeda pendapat tentang tata cara bangkit dari sujud kedua pada rakaat ganjil. Sebagian berdiri dengan cara bertumpu pada lutut. Tetapi sebagian lain bangkit dengan bertumpu pada telapak tangan. Ini adalah khilafiyah. Akan tetapi belakangan ada sekelompok orang yang ketika bangkit dari sujud tersebut dengan cara bertumpu pada dua tangan dengan mengepal. Mereka lakukan ini –katanya- karena mengikuti hadist yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bangkit dengan bertumpu pada kedua tangannya seperti orang yang mengolah tepung. Padahal yang namanya “Ngoleni” tepung itu berbeda dengan memeras sayuran atau lainnya. Jadi kata-kata “seperti mengolah tepung” itu adalah memperkuat makna “bertumpu pada kedua tangannya” Yang dituju tentu saja bangkit seperti normalnya manusia yaitu menapakan telapak tangannya dilantai. Sepengetahuan kami, bangkit dari sujud model ini adalah barang baru dan tidak pernah ada dalam fatwa ulama baik salaf maupun khalaf. Maka jika hendak disikapi dengan esktrim dapat dikatakan praktek bangkit model ini adalah bid’ah.

BUKAN MERUBAH SYARI’AT TAPI TUNTUTAN MASA

Dulu pada masa Rasulullah SAW, seorang Mu’adzdin dianjurkan naik ke atas menara, menutup telinga dan menoleh ke kanan dan kiri ketika mengumandangkan Adzan. Itu dimaksudkan agar ia dapat mengumandangkan suaranya dengan keras dan suaranya terdengar dari segala arah. Oleh karena itu praktek sebagaimana dilakukan Bilal itu dihukumi sebagai sunnah oleh para ulama. Pada masa ini tujuan dari ketiganya itu telah dapat dicapai melalui pengeras suara. Adakah naik ke menara, menutup telinga dan menoleh ke kanan dan kiri ketika mengumandangkan adzan masih dianggap sunnah ? Adalah menarik bahwa – sebagaimana dikatakan Al Buhkhari dalam shahihnya-- meskipun Bilal menutup telinganya ketika mengumandangkan adzan namun Ibnu Umar tidak melakukannya.

Ketika hendak menunaikan shalat berjama’ah, Rasulullah SAW biasa mengucapkan “Sawwu Wa’tadilu” atau kalimat sejenisnya. Ketika kini teknologi sudah sedemikian canggih, lalu para imam menambahkan kalimat “bagi yang membawa HP atau sejenisnya, di mohon untuk mematikan sementara”, adakah ucapan sang imam seperti ini dianggap bid’ah karena tidak pernah dicontohkan Rasulullah SAW atau ulama salaf? Ataukah justru menjadi sunnah karena memiliki kesamaan tujuan dengan ucapan Rasulullah SAW yaitu menciptakan ketenangan saat shalat ?

Allah SWT berfirman, yang artinya :
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang data dari segenap penjuru yang jauh” (Al Hajj:27)

Ayat ini menyebutkan tentang teknis menunaikan ibadah haji yaitu berjalan kaki dan menaiki unta. Berpegang kepada teks ayat ini ada sementara ulama (dahulu) yang menfatwakan bahwa menunaikan ibadah haji tidak wajib atas orang yang antara rumahnya dengan baitullah terdapat sungai besar atau lautan dengan alasan tidak dapat  ditempuh dengan berjalan kaki dan berkendaraan unta. Meskipun ini pendapat ganjil, nyatanya memang ada.

Bagaimana fatwa ini dapat dipergunakan ketika untuk sampai ke baitullah sudah ada pesawat terbang yang bukan hanya menyeberangi sungai besar tetapi juga lintas pulau dan benua? Adakah kira-kira ulama tadi –jika hari ini ada- akan menetapkan fatwa yang sama? Rasanya tidak, karena setiap fatwa akan berubah seiring perubahan zaman. Wallahu a’lam.

Qum no.673 tgl 26 shafar 1436H










Sabtu, 07 Maret 2015

amalan setelah sholat jum'at

Buat yang punya waktu lebih senggang, sebaiknya Anda menyempatkan diri untuk mengambil keutamaan di hari Jum‘at.
Anda bisa membaca surat Kahfi, Waqi‘ah, aneka wiridan, atau amalan lain yang dianjurkan di hari Jum‘at. Bagi yang punya kepentingan dan hajat lain, boleh langsung bubar selepas salam menuju sandal.
Namun begitu, mereka yang memilih bertahan baiknya memerhatikan keterangan Syekh Abdullah bin Hijazi As-Syarqawi dalam karyanya Hasyiyatus Syarqawi ala Tanqihil Lubab. Artinya sebelum membaca wiridan rutinnya, ada baiknya ia mengawali wiridan itu dengan amalan khusus Rasulullah SAW di hari Jumat.
Usai salam sembahyang Jum‘at tetapi sebelum mengubah posisi kaki dan sebelum bicara, kita disunahkan membaca surat Al-Fatihah, Qul Hu, Falaq, dan Nas masing-masing 7 kali. Lalu ia mengucap, “Allahumma ya Ghaniyyu ya Hamid, ya Mubdi’u ya Mu‘id, ya Rahimu ya Wadud. Aghnini bi halalika ‘an haromik, wa bifadhlika ‘amman siwak,” sebanyak 4 kali (Hai Tuhanku Yang Maha Kaya Lagi Maha Terpuji, Yang Maha Memulai Lagi Kuasa Mengembalikan, Yang Maha Penyayang Lagi Maha Kasih, Cukupkan aku oleh pemberian-Mu yang halal, bukan yang haram. Dan puaskan aku oleh kemurahan-Mu, bukan selain-Mu).
Siapa saja melazimkan amalan ini, niscaya Allah cukupkan dan berikan rezeki kepadanya dari mana yang ia tidak perhitungkan sebelumnya; Allah ampuni dosanya baik yang lewat maupun yang datang; serta Allah pelihara sikap beragamanya, kehidupan dunianya, keluarganya, dan anaknya. Demikian disebutkan Ibnu Hajar dan Al-Khotib.
Keterangan ini juga disampaikan Imam Nawawi dalam karyanya yang memuat doa dan zikir-zikir, Al-Adzkar. Wallahu A‘lam. (nu.or.id)

Kamis, 04 Desember 2014

Kisah-kisah : Nabi Ibrahim AS dan kematian

Kisah-kisah : Nabi Ibrahim AS dan kematian

Nabi Ibrahim mendapat gelar khalilullah yang artinya kekasih Allah. Predikat ini bukan bikinan atau keinginan manusia apalagi permintaan Nabi Ibrahim sendiri. Tetapi langsung Allahlah yang menganugrahkanya seperti yang tercantum dalam ayat Al-Quran (Q.S. An-Nisa : 125). Sebagai kekasih Allah tentu saja Ia (Allah) sangat sayang kepadanya; Sangat dekat dan do’anya selalu dikabulkan. Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 124 s.d.129

Pada suatu hari Allah memerintah malaikat Izrail untuk mencabut nyawa nabi Ibrahim tetapi bila nabi Ibrahim belum mau, maka Izrail diperintahkan untuk kembali ke langit.
Dan turunlah malaikat maut (Izrail) atas perintah Allah SWT kebumi dan mengetuk pintu rumah Nabi Ibrahim AS, dan terjadilah dialog antara nabi Ibrahim AS dengan malaikat maut.

Malaikat            : Assalamu’alaikum, ya Ibrahim
Ibrahim             : Wa’alaikumusallam ya sahabatku Izrail. Ada maksud apa engkau mengetuk pintu rumahku apakah engkau datang sebagai tamuku atau engkau datang dalam rangka melaksanakan tugas ?
Malaikat            : Ya Ibrahim, aku datang untuk menunaikan tugasku kepadamu
Ibrahim             : baik, tetapi ada 1 pertanyaanku padamu
Malaikat            : apa itu..
Ibrahim             : Hai Malaikat Maut, bagaimana menurutmu bila ada kekasih mencabut nyawa kekasihnya sendiri ?

Mendapat pertanyaan tersebut malaikat Izrail bingung, lalu naik lah ia ke langit menemui Allah S.W.T untuk melaporkan hal itu, lalu Allah berfirman menyuruh Izrail bertanya kembali kepada Ibrahim, “Bagaimana menurutmu bila ada  seorang kekasih yang tidak mau bertemu kekasihnya ?”

Izrail pun turun menyampaikan firman Allah tersebut ke Ibrahim, lalu Ibrahim menjawab : “Kalau demikian, Cabutlah nyawaku sekarang juga”
========================================================================
  • Jika demikian apakah kita cinta Allah dan RasulNYA…

Minggu, 30 November 2014

Pelajaran Budi Pekerti

Pada suatu masa hiduplah seorang kakek bersama anak dan cucunya, kakek yang sudah tua renta sudah mulai pikun dikarena umurnya yang sudah menginjak 75 tahun. Setelah istrinya meninggal dunia maka si kakek tua ini dirawat oleh anak semata wayangnya, hiduplah si kakek dirumah anaknya bersama dengan cucu laki-lakinya.

Karena penyakit pikunnya si kakek sering kali membuat jengkel orang-orang disekitarnya terutama anaknya yang merawat dia. Seringkali si kakek bercerita ke tetangganya bahwa anak tidak memberinya makan, padahal anaknya telah memberinya makan dan merawatnya setiap hari.
Sering pula si kakek ini membuang hajat sembarang, sehingga membuat jengkel si anak. Segala kebaikan yang diberikan oleh si anak si kakek ini tidak pernah bersyukur dan malah mejelek-jelekan si anak kepada orang-orang yang di jumpainya.
Maka saking jengkelnya sianak karena ulah si kakek, dibuatlah oleh si anak ini anyaman bambu yang besar. Melihat ayahnya membuat keranjang yang sangat besar sianak (cucu dari kakek) bertanya kepada ayah :

Cucu      : “ayah untuk apa ayah membuat keranjang yang sangat besar itu”
Ayah      : “ayah akan mengurung kakekmu dengan keranjang ini dan membuangnya ketengah hutan”
Cucu      : “kenapa ayah membuang kakek ke tengah hutan..? “
Ayah      : “biar kakekmu dimakan macan, karena kakekmu seringkali membuat jengkel ayah biarlah kita hidup tanpa kakekmu yang tidak berguna itu.

Maka ketika keranjang yang dirajut sudah selesai, tibalah saat dimana si kakek ini dimasukan kedalam keranjang untuk dibuang ketengah hutan, agar sianak terbebas dari ayahnya yang cerewet dan seringkali menyusahkan itu. Ketika si ayah akan membawa si kakek ketengah hutan terjadilah dialog antar si ayah dengan anaknya (cucu dari si kakek).  


Cucu      : ayah mau dibawa kemana si kakek
Ayah      : mau ayah buang kehutan kakek mu yang cerewet dan menyusahkan ini
Cucu      : aku ikut ayah..
Ayah      : jangan kamu tunggu dirumah saja di hutan berbahaya..
Sianak merajuk terus untuk ikut ayahnya kehutan, tetapi si ayah tetap melarang si anak untuk ikut membuang kakeknya ke tengah hutan.
Cucu      : baiklah ayah, tetapi kalau aku tidak boleh ikut.. aku titip sesuatu untuk ayah..
Ayah      : baik, apa itu nak..
Cucu      : tolong kalau ayah sudah melepaskan kakek ketengah hutan, keranjang ayah bawa pulang ya..
Ayah      : untuk apa keranjang itu nak..
Cucu      : nanti kalau ayah sudah tua, pikun, cerewet dan menyusahkan aku. Aku akan menggunakan keranjang tersebut untuk membuang ayah ketengah hutan..
Hikmah
  • Bahwa sikap anak kita terhadap kita kelak  adalah sebagaimana sikap kita kepada orangtua kita. Anak akan senantiasa meniru dan mencontoh orangtuanya.
  •  Maka pandai-pandailah mendidik anak-anak kita

Jumat, 26 September 2014

Kisah-kisah : HAJI DAN KURBAN

HAJI DAN KURBAN

Suatu hari, dalam perjalanan menuju Baitullah untuk menunaikan ibadah haji, Abdullah bin Mubarak sempat singgah di kota Kufah. Tanpa ia sengaja, Mubarak melihat wanita memungut bangkai ayam di tempat sampah kemudian mencabuti bulu-bulunya.
Lalu Mubarak menanyai wanita tersebut, "Ayam ini bangkai atau sudah disembelih?" Si wanita menjawab, “Bangkai, dan aku akan memakan bersama anak-anakku yang kelaparan," jawabnya polos dan jujur.
 "Kenapa engkau berani melanggar ketetapan Rasulullah, karena memakan bangkai tidak dibenarkan dalam Islam?" tanyanya lagi. 

Awalnya, wanita itu menolak berterus terang tentang sebab ia berani memakan bangkai. Namun karena Mubarak terus mendesak, akhirnya ia menceritakan keadaan yang derita selama ini.
“ya Tuan,  bangkai ini halal bagiku tetapi bagi tuan bangkai ini haram, bagi kami ini adalah darurat tetapi bagi tuan, tidak”
"sesungguhnya, sudah tiga hari ini, aku dan anak-anakku tidak makan," kisah si ibu dengan sedih. Mendengar penuturan itu, Mubarak segera menuju perkemahannya. Lalu ia tuntun keledai dan perbekalannya ke rumah wanita tadi. Lantas Mubarak memberikannya sembari berpesan, "Jangan lagi engkau dan anak-anakmu memakan bangkai yang diharamkan itu," tuturnya.
Wanita itu hanya bisa termangu tidak percaya dengan apa yang dilakukan Mubarak. Padahal barang yang diberikan Mubarak itu bekal menuju Mekah untuk beribadah ke Baitullah. Akhirnya wanita itu menerima sedekah Mubarak dengan gembira penuh rasa syukur.
Karena persediaan untuk perjalanan sudah diberikan kepada si wanita, Mubarak lantas menetap di kota itu beberapa waktu lamanya. Ia baru pulang ke tanah kelahirannya ketika orang-orang yang naik haji pulang ke negeri masing-masing.
Sebagaimana orang yang datang dari ibadah haji, disambut oleh sanak keluarga. Sesampainya di rumah, keluarga dan tetangga berdatangan memberi ucapan selamat. Tidak kecuali mereka yang menunaikan ibadah haji pada waktu itu juga.
Tiba-tiba Mubarak mengatakan kepada tamu yang ada, "Jangan ucapkan selamat kepadaku,". Lalu tanpa merasa gengsi dan malu ia katakan yang sebenarnya, "Sebenarnya tahun ini aku tidak pergi haji."
Namun apa jawaban dari sebagian tamu yang berangkat bersama Mubarak, di antara mereka malah mengatakan, "Bukankah engkau membawa titipan uangku dan aku ambil kembali ketika kita bertemu di Arafah?" begitu juga yang lain melanjutkan, "Malahan engkau juga memberi minum aku sewaktu kita bertemu di Mekah?" ujar yang lain memberikan pengakuan.
Mubarak semakin bingung mendengar ucapan-ucapan para tamu yang pergi haji. Beberapa kali Mubarak menolak kalau dirinya pergi haji, karena ia hanya menetap di Kufah sebab kehabisan bekal akibat diberikan kepada si wanita yang kelaparan.
Suatu malam, ketika Mubarak tidur pulas, ia bermimpi. "Hai Mubarak, Allah Swt menerima sedekahmu. Kemudian Dia menyuruh seorang Malaikat menyerupainya untuk menggantikanmu melaksanakan ibadah haji."
============================================
I’tibar :

1.       Pergi haji itu wajib nya 1 kali, alangkah:
·         Lebih utama ONH kita, kita sedekahkan kepada orang yang lebih membutuhkan
·         Dengan kita tidak pergi yg ke 2 kalinya berarti kita memberikan jatah kursi kita kepada orang yg belum pergi.
2.       Bahwa sesungguhnya lebih utama menolong orang-orang di sekitar kita (kerabat maupun tetangga terdekat) yang amat sangat membutuhkan bantuan. (baik itu karena kelaparan/kebutuhan akan biaya pengobatan maupun biaya pendidikan). “sesungguhnya Allah tidak tidur dan dia MAHA MELIHAT”
3.       Bagaimana dengan KURBAN kita ? apakah lebih utama berkurban (membeli hewan) atau memberikan uang tersebut untuk Saudara kita (adik/kakak atau kerabat lainnya) atau tetangga kita yang sedang membutuhkan ? mungkin mereka tidak membutuhkan daging kurban tetapi yang mereka butuhkan adalah biaya hidup untuk anak mereka/ untuk biaya pengobatan / biaya pendidikan.. silahkan memilah dan memilih dengan ilmu…