YANG
KHILAFIYAH DAN YANG BID’AH
Oleh :
Syarif Rahmat RA
dosen PTIQ Jakarta dan Pengasuh Pondok
Pesantren Ummul Qura Pondok cabe
Khilafiyah artinya perkara-perkara yang
diperselisihkan. Dalam pembicaraan Fiqh yang disebuh khilafiyah adalah segala
sesuatu yang diperselisihkan kedudukan hukumnya oleh para ulama Mujtahid.
Adapun bid’ah adalah segala amaliah
yang tidak terdapat dasarnya dalam Al Qur’an, Hadit atau Ijtihad Ulama
Mujtahid.
Terhadap masalah-masalah khilafiyah yang wajib bagi orang
awam adalah taqlid kepada salah satunya disertai sikap toleran terhadap yang
berbeda darinya. Sedangkan dalam masalah bid’ah maka tidak ada pilihan lain
kecuali bersatu dalam menghentikannya.
Dalam suatu masalah terkadang kita menemukan khilafiyah
namun ada pula yang terjatuh dalam bid’ah tanpa disadari. Hal ini biasaya
karena orang tidak bisa membedakan mana Ulama Mujtahid yang layak dijadikan
pegangan dan mana ulama atau guru ngaji yang tidak boleh dijadikan rujukan.
Sekali lagi, yang wajib dalam hal ini adalah mengikuti ulama Mujtahid dan tidak
merujuk kepada fatwa sembarangan.
Sebagai misal dalam masalah mengangkat tangan ketika Takbiratul Ihram. Para ulama berbeda
pendapat sebatas mana kedua tangan diangkat. Mayoritas ulama menetapkan bahwa
mengangkat kedua tangan itu adalah sebatas daun telinga. Mereka menggabungkan
pesan yang terdapat dalam dua hadist. Sebagian lain menetapkan bahwa mengangkat
tangan itu sebatas pundak. Kelompok ini mentarjihkan salah satu di antara
keduanya. Dua pendapat ini termasuk dalam perkara khilafiyah. Tetapi ada juga
kelompok ketiga yang ketika mengangkat tangan setinggi dada dengan cara
menelungkup pula. Mengangkat tangan model ini – sepengetahuan kami – tidak ada
dasarnya dalam hadist. Jadi, jika digunakan kalimat yang ekstrim, bisa dikatakan
bid’ah.
Demikian juga para ulama berbeda pendapat tentang tata
cara meletakan tangan saat berdiri dalam shalat. Sebagian besar ulama
menetapkan bahwa yang benar dalam meletakan tangan adalah dengan cara
menumpangkan tangan kanan diatas tangan kiri dengan meletakannya dibawah dada
diatas pusar. Pendapat ini adalah hasil dari penggabungan dua hadist dalam
masalah ini. Sebagian lain menetapkan bahwa cara yang benar adalah dengan cara
menumpangkan tangan kanan diatas tangan kiri dengan meletakkan di dada. Mereka
berargumen dengan teks sebuah hadist dengan tidak menghubungkannya dengan
hadist lain. Ada pula pendapat lain yang mempersilahkan memilih antara di dada
atau dibawah dada. Ketika pendapat ini dianggap khilafiyah karena seperti itu
yang difatwakan para Mujtahid kecuali Abu Hanifah yang memilih melepaskan
tangan tidak bersedekap. Tetapi belakangan ada sekelompok orang yang ketika
bersedekap meletakan tangan di dada dengan cara kedua sikunya menggelantung ke
bawah. Ada juga yang menumpuk dua telapak tangannya di dada seperti gerakan
orang yang sedang bersedih hati. Kedua model bentuk ini – sepengetahuan kami –
tidak pernah ada dalam fatwa ulama baik salaf maupun khalaf. Maka jika hendak
disikapi dengan ekstrim, dapat dikatakan praktek sedekap seperti itu adalah
bid’ah.
Para ulama berbeda pendapat tentang tata cara turun
ketika hendak sujud. Mayoritas mereka meletakan dua lutut sebelum dua telapak
tangannya. Sebagian lain menetapkan bahwa turun yang benar adalah dengan cara
meletakan kedua tangan sebelum kedua lututnya. Ini adalah khilafiyah yang
terdapat penjelasannya dalam kitab-kitab Mujtahid. Tetapi belakangan kita
menyaksikan ada sejumlah orang yang ketika turun hendak sujud mendahulukan
kedua tangan lalu setelah lututnya turun, kedua tangannya melompat kedepan
sehingga dalam sujud pertama itu mereka memindahkan tangan dari tempat
jatuhnya. Praktek model ini sepertinya dalam rangka memanjangkan posisi
sujudnya. Tata cara seperti ini – sepengetahuan kami – tidak ada dalam fatwa
seorang ulama pun baik salaf maupun khalaf. Maka jika hendak disikapi dengan
esktrim dapat dikatakan praktek turun menuju sujud model ini adalah bid’ah.
Para ulama berbeda pendapat tentang tata cara bangkit
dari sujud kedua pada rakaat ganjil. Sebagian berdiri dengan cara bertumpu pada
lutut. Tetapi sebagian lain bangkit dengan bertumpu pada telapak tangan. Ini
adalah khilafiyah. Akan tetapi belakangan ada sekelompok orang yang ketika
bangkit dari sujud tersebut dengan cara bertumpu pada dua tangan dengan
mengepal. Mereka lakukan ini –katanya- karena mengikuti hadist yang menyebutkan
bahwa Rasulullah SAW bangkit dengan bertumpu pada kedua tangannya seperti orang
yang mengolah tepung. Padahal yang namanya “Ngoleni”
tepung itu berbeda dengan memeras sayuran atau lainnya. Jadi kata-kata
“seperti mengolah tepung” itu adalah memperkuat makna “bertumpu pada kedua
tangannya” Yang dituju tentu saja bangkit seperti normalnya manusia yaitu menapakan
telapak tangannya dilantai. Sepengetahuan kami, bangkit dari sujud model ini
adalah barang baru dan tidak pernah ada dalam fatwa ulama baik salaf maupun
khalaf. Maka jika hendak disikapi dengan esktrim dapat dikatakan praktek bangkit
model ini adalah bid’ah.
BUKAN
MERUBAH SYARI’AT TAPI TUNTUTAN MASA
Dulu pada masa Rasulullah SAW, seorang Mu’adzdin
dianjurkan naik ke atas menara, menutup telinga dan menoleh ke kanan dan kiri
ketika mengumandangkan Adzan. Itu dimaksudkan agar ia dapat mengumandangkan
suaranya dengan keras dan suaranya terdengar dari segala arah. Oleh karena itu
praktek sebagaimana dilakukan Bilal itu dihukumi sebagai sunnah oleh para ulama.
Pada masa ini tujuan dari ketiganya itu telah dapat dicapai melalui pengeras
suara. Adakah naik ke menara, menutup telinga dan menoleh ke kanan dan kiri
ketika mengumandangkan adzan masih dianggap sunnah ? Adalah menarik bahwa –
sebagaimana dikatakan Al Buhkhari dalam shahihnya-- meskipun Bilal menutup
telinganya ketika mengumandangkan adzan namun Ibnu Umar tidak melakukannya.
Ketika hendak menunaikan shalat berjama’ah, Rasulullah
SAW biasa mengucapkan “Sawwu Wa’tadilu” atau kalimat sejenisnya. Ketika kini
teknologi sudah sedemikian canggih, lalu para imam menambahkan kalimat “bagi
yang membawa HP atau sejenisnya, di mohon untuk mematikan sementara”, adakah
ucapan sang imam seperti ini dianggap bid’ah karena tidak pernah dicontohkan
Rasulullah SAW atau ulama salaf? Ataukah justru menjadi sunnah karena memiliki
kesamaan tujuan dengan ucapan Rasulullah SAW yaitu menciptakan ketenangan saat
shalat ?
Allah SWT berfirman, yang artinya :
“Dan berserulah kepada
manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan
berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang data dari segenap penjuru
yang jauh” (Al Hajj:27)
Ayat ini menyebutkan tentang teknis menunaikan ibadah haji
yaitu berjalan kaki dan menaiki unta. Berpegang kepada teks ayat ini ada
sementara ulama (dahulu) yang menfatwakan bahwa menunaikan ibadah haji tidak
wajib atas orang yang antara rumahnya dengan baitullah terdapat sungai besar
atau lautan dengan alasan tidak dapat
ditempuh dengan berjalan kaki dan berkendaraan unta. Meskipun ini
pendapat ganjil, nyatanya memang ada.
Bagaimana fatwa ini dapat dipergunakan ketika untuk
sampai ke baitullah sudah ada pesawat terbang yang bukan hanya menyeberangi
sungai besar tetapi juga lintas pulau dan benua? Adakah kira-kira ulama tadi
–jika hari ini ada- akan menetapkan fatwa yang sama? Rasanya tidak, karena
setiap fatwa akan berubah seiring perubahan zaman. Wallahu a’lam.